Berdasarkan pengalaman empiris kami menjalankan tugas sebagai seorang HR, salah satu masalah yang sering dialami karyawan -terutama karyawan baru- adalah bahwa karyawan tidak mendapatkan pelatihan yang dibutuhkan untuk bisa menjalankan tugas pekerjaannya dengan baik.
Di satu sisi, karyawan dituntut untuk bekerja dan berkontribusi dengan maksimal, namun di sisi yang lain, mereka tidak mendapatkan cukup pelatihan, atau bahkan tidak ada pelatihan sama sekali.
Sebagai dampaknya, karyawan akan merasa bingung dan frustasi. Bisa jadi diantara sekian karyawan baru, ada yang memiliki cukup inisiatif dan keberanian untuk bertanya kepada seniornya atau karyawan yang lebih berpengalaman. Namun itu sangat jarang terjadi atau jumlahnya sangat kecil.
Ujung dari kebingungan dan rasa frustasi itu adalah niatan untuk mengundurkan diri (resign). Sebagian lagi mungkin memilih untuk langsung pergi begitu saja tanpa pamit.
Dari gambaran di atas, kita bisa mengetahui bahwa tingginya turn over karyawan juga bisa disebabkan karena tidak adanya pola pelatihan atau kurikulum yang jelas terkait pelatihan dan pengembangan karyawan.
Jika hal ini dibiarkan, maka bisa jadi, HR akan terus mencari atau merekrut karyawan baru dimana dibutuhkan biaya, waktu dan energi yang tidak sedikit. Kondisi seperti ini tentu tidak kondusif bagi kebutuhan operasional perusahaan.
Karenanya penting bagi HR, terutama divisi OD, untuk benar-benar merumuskan kurikulum pelatihan dan pengembangan karyawan sejak awal dan memastikan pelaksanaan kurikulum berjalan dengan baik.
Bagi karyawan lama atau senior, mendapatkan pelatihan juga merupakan salah satu apresiasi dimana karyawan mendapatkan fasilitas untuk meningkatkan kompetensinya.
Jadi, penyebab tingginya turn over karyawan tidak hanya karena faktor upah, jenjang karir, budaya kerja dan value, tapi juga terkait pelatihan dan pengembangan diri karyawan.
Semoga bermanfaat.
